JAKARTA - Penerapan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) yang tengah dibahas oleh DPRD DKI Jakarta dinilai dapat membawa konsekuensi serius terhadap sektor pariwisata dan ekonomi daerah. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperingatkan bahwa aturan baru tersebut, jika diberlakukan tanpa kompromi, berpotensi menambah beban berat bagi pelaku usaha yang saat ini masih berjuang memulihkan diri dari tekanan ekonomi.
Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menegaskan pentingnya pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dengan pelaku industri perhotelan dan restoran agar kebijakan tersebut tidak justru memperparah kondisi ekonomi sektor pariwisata.
“Pada akhirnya pasti timbul masalah-masalah sosial, daya beli masyarakat yang turun, pajak juga turun,” kata Sutrisno dalam keterangan resminya, Senin, 6 Oktober 2025.
Industri Perhotelan dan Restoran Sudah Tertekan
PHRI mencatat, sektor perhotelan dan restoran di Jakarta masih mengalami tekanan berat sepanjang 2025. Berdasarkan data asosiasi, sekitar 96,7 persen hotel melaporkan penurunan tingkat hunian, bahkan banyak pelaku usaha yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan dan efisiensi operasional untuk bertahan.
Padahal, sektor ini memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah. Industri perhotelan dan restoran menyerap lebih dari 603.000 tenaga kerja dan menyumbang sekitar 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta.
Dalam kondisi yang belum stabil, PHRI menilai bahwa aturan yang terlalu ketat dan tidak mempertimbangkan kondisi riil pelaku usaha justru bisa memperburuk situasi.
“Kami masih menginginkan dialog yang baik, diskusi antara asosiasi pelaku usaha dengan pemerintah dan stakeholder lain supaya bisa menemukan jalan yang terbaik. Harapan kami, legislatif maupun eksekutif membuka diri, membuka pintu untuk dialog,” ujar Sutrisno.
Aturan Baru Dinilai Terlalu Membebani
Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran pelaku usaha adalah cakupan aturan baru dalam Raperda KTR yang dinilai semakin luas. Dalam draf terbaru yang tengah difinalisasi oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta, terdapat sejumlah ketentuan baru yang lebih ketat dibanding peraturan sebelumnya.
Beberapa poin penting dalam Raperda KTR tersebut antara lain:
Larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.
Perluasan kawasan tanpa rokok ke pasar tradisional dan modern.
Larangan penjualan rokok eceran.
Kewajiban bagi pedagang untuk memiliki izin khusus dalam berjualan rokok.
Perluasan kawasan tanpa rokok ke tempat hiburan seperti hotel, restoran, kafe, bar, hingga lokasi live music.
Aturan-aturan tersebut dinilai dapat berdampak langsung pada pendapatan bisnis perhotelan, restoran, dan hiburan malam, yang selama ini sangat bergantung pada kenyamanan pengunjung. PHRI khawatir kebijakan ini akan mengurangi minat wisatawan dan pelanggan lokal untuk berkunjung ke berbagai destinasi kuliner dan hiburan di Jakarta.
PHRI Dorong Kompromi dan Pendekatan Bertahap
Menyadari pentingnya kesehatan masyarakat dan upaya pengendalian konsumsi rokok, PHRI tidak menolak sepenuhnya penerapan kawasan tanpa rokok. Namun, asosiasi meminta agar implementasi dilakukan secara bertahap dan proporsional, disertai dialog intensif antara pemerintah dan dunia usaha.
Menurut Sutrisno, kebijakan yang terlalu ekstrem dapat berakibat pada penurunan daya beli masyarakat, penutupan usaha kecil dan menengah, hingga berkurangnya kontribusi pajak daerah.
“Harapan kami bukan menolak regulasi, tetapi memastikan bahwa kebijakan ini tidak menimbulkan dampak ekonomi yang lebih luas. Diperlukan pendekatan yang seimbang antara aspek kesehatan dan keberlanjutan usaha,” ujarnya.
Pemprov DKI: Raperda Masih Dinamis dan Terbuka untuk Masukan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa proses penyusunan Raperda KTR masih berjalan dan masih terbuka terhadap masukan dari masyarakat, termasuk pelaku usaha.
Afifi, Ketua Sub Kelompok Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan Rakyat Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, menegaskan bahwa pemerintah akan menampung seluruh pandangan untuk mencari solusi terbaik.
“Draft Raperda ini masih terbuka dan dinamis. Setelah selesai pembahasan di Pansus, akan kami sampaikan ke Pak Gubernur. Kalau memungkinkan akan di-rapimkan supaya masukan dari semua pihak bisa diserap,” kata Afifi.
Pernyataan tersebut memberikan sinyal bahwa peluang untuk melakukan revisi atau penyempurnaan regulasi masih terbuka lebar. Pemerintah menginginkan agar kebijakan yang dihasilkan nantinya tidak hanya efektif menekan konsumsi rokok, tetapi juga tidak merugikan pelaku usaha.
Keseimbangan Antara Kesehatan Publik dan Ekonomi
Perdebatan seputar Raperda KTR mencerminkan tantangan pemerintah daerah dalam menyeimbangkan dua kepentingan besar: perlindungan kesehatan masyarakat dan kelangsungan ekonomi sektor pariwisata.
Di satu sisi, perluasan kawasan tanpa rokok dianggap penting untuk mengurangi paparan asap rokok di ruang publik, melindungi kelompok rentan seperti anak-anak, dan mendorong gaya hidup sehat.
Namun, di sisi lain, dampak ekonomi dari kebijakan tersebut tidak bisa diabaikan, terutama bagi pelaku usaha yang masih berjuang memulihkan diri setelah masa pandemi dan tekanan ekonomi global.
Kunci dari keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada keterbukaan pemerintah dalam menyerap masukan, serta kesediaan semua pihak untuk mencari kompromi yang adil dan realistis.
Penutup: Dialog Jadi Kunci Penyusunan Kebijakan yang Berkeadilan
Raperda Kawasan Tanpa Rokok di DKI Jakarta sejatinya memiliki tujuan mulia dalam melindungi kesehatan masyarakat. Namun, tanpa dialog yang intensif dan kebijakan yang berimbang, regulasi tersebut bisa membawa konsekuensi ekonomi yang tidak diinginkan.
PHRI berharap, pemerintah daerah dan DPRD dapat membuka ruang komunikasi yang lebih luas agar kebijakan yang lahir tidak hanya melindungi kesehatan publik, tetapi juga mendukung keberlanjutan industri pariwisata dan ekonomi daerah.