JAKARTA - Pemerintah berencana menerbitkan Dimsum Bond pada kuartal IV 2025 sebagai bagian dari strategi diversifikasi pembiayaan negara. Langkah ini dinilai tepat di tengah kondisi pasar keuangan Tiongkok yang mendukung.
Namun, para ekonom mengingatkan bahwa keputusan tersebut harus disertai analisis mendalam atas sejumlah faktor kunci, mulai dari dinamika pasar RMB hingga kebijakan moneter Bank Sentral Tiongkok.
Chief Economist Pefindo, Suhindarto, menilai periode akhir tahun ini merupakan saat yang paling ideal untuk meluncurkan obligasi berdenominasi yuan tersebut. Momentum yang tepat, menurutnya, akan menentukan efisiensi biaya pendanaan sekaligus tingkat keberhasilan penerbitan.
“Keputusan ini sangat tergantung pada analisis timing di pasar Tiongkok, bukan semata-mata kondisi SBN domestik,” ujar Suhindarto kepada Kontan, Senin, 6 Okrober 2025.
Biaya Dana dan Timing Pasar Jadi Pertimbangan Utama
Suhindarto menekankan bahwa penerbitan Dimsum Bond sebaiknya dilakukan ketika biaya dana di pasar RMB offshore berada di titik terendah atau setidaknya menunjukkan tren penurunan. Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah Tiongkok tenor 10 tahun berada pada kisaran 1,7%–1,9%, mencerminkan kondisi biaya pinjaman yang kompetitif.
Meskipun penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) domestik juga menjadi sinyal positif, hal itu tidak serta-merta menentukan waktu penerbitan. Sebab, Dimsum Bond bukan semata instrumen pembiayaan dalam negeri, melainkan bagian dari strategi diversifikasi mata uang dan basis investor.
“Fokus analisis harus tetap pada dinamika penawaran dan permintaan RMB offshore serta kebijakan moneter PBoC, yang menjadi penentu harga offshore,” tegasnya.
Protokol Pasar: Window yang Tepat dan Permintaan Investor
Selain faktor biaya dana, Suhindarto juga menyoroti pentingnya memperhatikan protokol pasar modal. Karena Dimsum Bond bersifat tradeable, pemerintah tidak bisa mengumumkan waktu penerbitan terlalu jauh sebelumnya.
“Penerbitan harus dilakukan pada saat window pasar terbuka, yaitu periode di mana pasar tenang dan permintaan investor global terhadap aset RMB sedang tinggi. Dengan begitu, pricing bisa lebih efisien dan penyerapan obligasi optimal,” jelasnya.
Dengan kata lain, kondisi pasar yang stabil menjadi syarat penting agar penerbitan bisa berjalan sukses dan memperoleh tingkat bunga (yield) yang menguntungkan bagi pemerintah.
Penentuan Kupon Ditentukan Pasar, Bukan Pemerintah
Suhindarto menegaskan bahwa besar bunga (coupon rate) Dimsum Bond nantinya tidak akan ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Sebaliknya, besaran kupon akan ditentukan melalui mekanisme pasar lewat proses bookbuilding.
“Pemerintah tidak dapat menetapkan bunga secara sepihak. Bunga yang ditawarkan harus mencerminkan imbal hasil obligasi pemerintah Tiongkok dengan tenor serupa sebagai tingkat acuan bebas risiko, ditambah dengan premi risiko (spread) yang sesuai dengan peringkat kredit Indonesia,” ujarnya.
Premi risiko ini menjadi komponen penting karena meskipun berdenominasi RMB, obligasi Indonesia tetap memiliki profil risiko kredit berbeda dibandingkan obligasi pemerintah Tiongkok.
“Pemerintah akan berusaha menargetkan bunga serendah mungkin yang masih cukup menarik untuk mengalahkan instrumen investasi RMB offshore lainnya dan menarik investor yang berburu yield yang lebih tinggi,” imbuhnya.
Kondisi yield Tiongkok yang saat ini relatif rendah memberi peluang besar bagi Indonesia untuk memperoleh biaya pendanaan yang lebih efisien.
Dukungan dari Kebijakan Tiongkok dan Potensi Penurunan Kupon
Secara historis, penerbit dengan peringkat kredit baik cenderung berhasil menerbitkan Dimsum Bond dengan coupon rate yang lebih rendah serta tenor yang semakin panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pasar RMB offshore tengah mencari aset berkualitas tinggi.
Suhindarto menambahkan, dukungan kebijakan dari pemerintah Tiongkok juga menjadi faktor pendorong yang tak kalah penting.
“Beberapa waktu terakhir pemerintah Tiongkok sedang mendorong perluasan penggunaan mata uang RMB melalui serangkaian langkah untuk mengembangkan obligasi berdenominasi yuan di Hong Kong. Hal tersebut bisa menjadi faktor yang baik untuk menjaring pendanaan berimbal hasil kompetitif bagi pemerintah,” jelasnya.
Peran PBoC, Risiko Nilai Tukar, dan Likuiditas Pasar
Lebih jauh, Suhindarto menekankan pentingnya memperhatikan kebijakan moneter People’s Bank of China (PBoC). Menurutnya, bank sentral Tiongkok memainkan peran krusial dalam menentukan suku bunga acuan serta kondisi likuiditas pasar keuangan di negeri tersebut.
“Kebijakan PBoC yang cenderung dovish dengan suku bunga rendah menjadi faktor pendorong utama melonjaknya pasar Dimsum Bond,” katanya.
Selain itu, risiko nilai tukar antara RMB/CNH dan rupiah juga perlu diperhitungkan. Diversifikasi mata uang akan efektif jika diimbangi dengan manajemen risiko kurs yang tepat, sehingga pinjaman dalam RMB tetap efisien secara keseluruhan.
Ia juga mengingatkan pentingnya memperhatikan likuiditas di pasar CNH offshore serta profil permintaan investor.
“Likuiditas yang baik memastikan obligasi dapat diperdagangkan kembali dengan mudah, faktor yang sangat disukai investor. Pemerintah juga harus memahami siapa saja basis investor utama, misalnya bank sentral, bank komersial, dan manajer aset di Asia, untuk memastikan penyerapan obligasi berjalan sukses,” paparnya.
Momentum Emas di Kuartal IV
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor — mulai dari kondisi biaya dana, kebijakan PBoC, risiko nilai tukar, hingga profil permintaan investor — Suhindarto menyimpulkan bahwa kuartal IV tahun ini adalah waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk menerbitkan Dimsum Bond.
Momentum tersebut bukan hanya akan memberikan biaya pendanaan yang lebih efisien, tetapi juga memperluas basis investor internasional serta mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan euro.
Jika dilakukan dengan strategi yang tepat, penerbitan Dimsum Bond akan menjadi langkah penting dalam memperkuat pembiayaan negara sekaligus meningkatkan posisi Indonesia di pasar keuangan global.