JAKARTA - Rupiah kembali menunjukkan ketangguhannya di tengah tekanan global yang masih berlanjut. Awal pekan ini, mata uang Garuda dinilai masih memiliki ruang untuk melanjutkan tren penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), seiring dengan meningkatnya minat investor terhadap aset-aset domestik dan ekspektasi kebijakan moneter global yang lebih longgar.
Mengacu pada data Bloomberg, pada perdagangan Jumat, 3 Oktober 2025, rupiah ditutup menguat 0,21% di level Rp 16.562 per dolar AS. Sementara berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah juga tercatat menguat tipis 0,006% ke posisi Rp 16.611 per dolar AS.
Pergerakan positif ini menandai momentum penguatan yang telah terbentuk sejak akhir September, di mana rupiah mulai menanjak seiring dengan melemahnya indeks dolar AS.
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menilai bahwa penguatan rupiah pada akhir pekan lalu tak lepas dari peningkatan minat terhadap instrumen keuangan domestik, khususnya di pasar obligasi dan saham. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku pasar mulai kembali menaruh kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.
“Peningkatan permintaan terhadap aset domestik tercermin dari penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang naik 0,59% ke level 8.118, bersamaan dengan penurunan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 1 basis poin menjadi 6,32%,” jelas Josua
Menurutnya, kondisi tersebut mengindikasikan bahwa investor global tengah memposisikan ulang portofolionya dengan kembali masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. “Ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed yang lebih agresif telah mendorong sentimen positif terhadap aset berisiko,” tambahnya.
Sentimen AS Jadi Pemicu Penguatan Rupiah
Josua menyoroti bahwa sentimen eksternal masih menjadi faktor utama yang memengaruhi arah rupiah. Ia menyebutkan bahwa isu government shutdown atau penutupan sebagian pemerintahan Amerika Serikat menjadi katalis utama pelemahan dolar AS dalam beberapa hari terakhir.
Kebuntuan di Kongres AS dalam menyepakati anggaran pemerintahan membuat pelaku pasar khawatir terhadap potensi gangguan ekonomi di negeri Paman Sam tersebut. Ketidakpastian ini secara historis cenderung mendorong pelemahan dolar AS karena investor memilih untuk mengalihkan asetnya ke negara-negara dengan fundamental yang lebih stabil.
“Sentimen ini mendorong pelemahan dolar AS secara meluas dan menjadi angin segar bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah,” ujar Josua.
Ia memperkirakan, dalam perdagangan Senin, 6 Oktober 2025, rupiah masih akan bergerak menguat di kisaran Rp 16.475 hingga Rp 16.625 per dolar AS. Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa ruang penguatan rupiah tetap terbatas, mengingat volatilitas pasar global masih tinggi menjelang rilis risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang dapat memberikan petunjuk arah kebijakan moneter The Fed berikutnya.
Dukungan dari Fundamental Domestik
Selain faktor eksternal, kekuatan rupiah juga ditopang oleh sejumlah indikator ekonomi domestik yang menunjukkan tren positif. Di antaranya, stabilitas inflasi yang tetap terjaga dan cadangan devisa yang masih solid menjadi bantalan penting bagi rupiah di tengah dinamika global.
Permintaan terhadap aset domestik juga meningkat berkat kepercayaan investor terhadap ketahanan ekonomi Indonesia. Seiring dengan itu, aliran modal asing (capital inflow) kembali masuk, terutama ke pasar obligasi, karena imbal hasil riil Indonesia masih relatif menarik dibandingkan negara-negara lain di kawasan.
“Faktor fundamental Indonesia cukup kuat untuk menopang stabilitas rupiah, terlebih dengan adanya kebijakan moneter dan fiskal yang tetap terkoordinasi,” papar Josua.
Ia menambahkan, langkah Bank Indonesia yang menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi ganda di pasar valas dan obligasi turut membantu mengendalikan volatilitas rupiah. BI juga dinilai akan tetap berada di jalur kebijakan yang pro-stabilitas menjelang akhir tahun.
Arah Pergerakan ke Depan
Ke depan, pergerakan rupiah masih akan bergantung pada perkembangan global, terutama kebijakan suku bunga The Fed, dinamika geopolitik, serta harga komoditas utama dunia. Jika The Fed benar-benar menurunkan suku bunga sebanyak dua kali hingga akhir tahun, sebagaimana yang diprediksi oleh sebagian besar analis, maka potensi penguatan rupiah dapat berlanjut hingga kuartal IV 2025.
Namun, di sisi lain, pelaku pasar tetap perlu waspada terhadap kemungkinan kebijakan fiskal AS yang tidak menentu dan potensi gejolak di pasar keuangan global. Ketidakpastian geopolitik, terutama di Timur Tengah dan Asia Timur, juga berpotensi memicu lonjakan harga energi yang bisa memberi tekanan tambahan pada mata uang negara berkembang.
Meski demikian, Josua optimistis bahwa rupiah memiliki peluang untuk bertahan di bawah level Rp 16.600 per dolar AS dalam jangka pendek, dengan dukungan kombinasi faktor eksternal dan internal yang positif.
“Dengan stabilnya neraca transaksi berjalan dan prospek inflasi yang tetap terjaga, rupiah masih memiliki ruang untuk melanjutkan tren penguatan secara bertahap,” pungkasnya.