Bimbingan Nikah KUA

Program Bimbingan Nikah KUA Tuai Kritik karena Ice Breaking Nyeleneh

Program Bimbingan Nikah KUA Tuai Kritik karena Ice Breaking Nyeleneh
Program Bimbingan Nikah KUA Tuai Kritik karena Ice Breaking Nyeleneh

JAKARTA - Fenomena bimbingan pranikah yang diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kembali menjadi sorotan warganet. Setelah sebelumnya sempat viral dengan gerakan Tepuk Sakinah, kini KUA kembali menghadirkan aktivitas serupa yang dinamakan “Kakek Memijit Nenek”. 

Program ini merupakan bagian dari sesi ice breaking yang diberikan kepada calon pengantin dalam rangkaian bimbingan perkawinan.

Video kegiatan tersebut pertama kali diunggah oleh akun TikTok @kua.bungah dan langsung menyebar luas di media sosial. Dalam video itu, terlihat para calon pengantin pria dan wanita berdiri berbaris lalu saling memijat satu sama lain, sambil diiringi yel-yel yang dilantunkan petugas KUA:

“Kakek memijit nenek, nenek memijit kakek. Kakek nenek pijit-pijitan.”

Gerakan sederhana dan penuh canda tawa ini dimaksudkan sebagai kegiatan pelepas ketegangan selama bimbingan pranikah. Namun, alih-alih dianggap menyenangkan, kegiatan tersebut justru memicu perdebatan luas di kalangan warganet.

Tujuan Kegiatan: Bangun Keakraban dan Kerjasama Calon Pasangan

Pihak KUA Bungah memberikan penjelasan bahwa kegiatan ice breaking seperti Tepuk Sakinah maupun Kakek Memijit Nenek bertujuan untuk menciptakan suasana hangat selama sesi bimbingan. Menurut mereka, kegiatan semacam ini tidak hanya memberikan ilmu tentang kehidupan pernikahan, tetapi juga membantu calon pasangan belajar bekerja sama dan merasakan makna kebersamaan sebelum membangun rumah tangga.

“Sobat KUA Bungah... Dalam setiap bimbingan perkawinan, bukan hanya ilmu yang dibagikan, tetapi juga suasana hangat yang tercipta. Selain Tepuk Sakinah yang sudah akrab di telinga, ada juga ice breaking seru lainnya: Kakek Memijit Nenek. Dengan penuh tawa dan canda, permainan sederhana ini membantu calon pengantin melepas ketegangan, belajar kerja sama, dan merasakan makna kebersamaan. Karena rumah tangga bukan hanya tentang seriusnya perjalanan, tetapi juga tentang kebahagiaan kecil yang menguatkan ikatan,” tulis akun @kua.bungah.

Pihak KUA juga menjelaskan bahwa makna filosofis di balik kegiatan ini adalah harapan agar hubungan pernikahan para calon pasangan dapat bertahan hingga masa tua.

“Jadi teman-teman, itu adalah bentuk ice breaking ketika mengikuti bimbingan perkawinan. Jadi tidak hanya Tepuk Sakinah tapi juga Kakek Memijit Nenek. Apa gunanya? Harapannya itu teman-teman bisa melangsungkan pernikahan langgeng sampai kakek nenek,” jelas petugas KUA Bungah dalam unggahan lanjutan.

Respons Publik: Antara Hiburan atau Hal yang Tidak Relevan?

Walau niat di balik kegiatan ini tergolong positif, tidak semua pihak menyambutnya dengan baik. Video “Kakek Memijit Nenek” justru menuai banyak komentar bernada sinis hingga kritik tajam dari warganet. Sebagian besar menganggap kegiatan tersebut terlalu kekanak-kanakan dan tidak relevan dengan substansi bimbingan pranikah yang seharusnya lebih serius.

Banyak pengguna media sosial yang mempertanyakan urgensi dan manfaat dari kegiatan ini bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa komentar yang muncul bahkan bernada satir:

“Makin ilfiel sama nikah,” tulis akun @dindamu.
“GUNANYA APA SI BUAT PERNIKAHAN,” tulis akun @flo.
“Yakin banyak yang nikah siri kalau harus kek gini,” tulis akun @tary.
“Makin ke sini makin konyol aja Indonesia ini,” komentar akun @NuAmalia.

Meski demikian, ada pula warganet yang menanggapi kegiatan ini secara lebih santai dan melihatnya sebagai bagian dari hiburan ringan yang tidak perlu dibesar-besarkan.

Fenomena “Tepuk Sakinah” dan Perdebatan Bimbingan Pranikah

Perdebatan seputar ice breaking dalam bimbingan pranikah sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, gerakan Tepuk Sakinah juga sempat viral dan menuai reaksi serupa. Kegiatan tersebut dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk edukasi yang terlalu ringan untuk topik seberat pernikahan.

Di sisi lain, pihak KUA berdalih bahwa ice breaking justru berfungsi sebagai jembatan emosional antara materi yang serius dengan suasana yang menyenangkan. Calon pengantin diharapkan bisa lebih rileks, terbuka, dan mudah memahami pesan-pesan penting dalam membina rumah tangga.

Perdebatan Lebih Luas: Relevansi Materi Pranikah di Era Modern

Fenomena “Kakek Memijit Nenek” juga memunculkan perdebatan yang lebih luas tentang format bimbingan pranikah di Indonesia. Sebagian pengamat sosial menilai bahwa kegiatan tersebut mencerminkan tantangan baru bagi lembaga pernikahan dalam menyampaikan materi edukatif yang relevan dan bermakna bagi generasi muda.

Di era modern, calon pasangan umumnya mengharapkan materi bimbingan yang lebih mendalam seperti pengelolaan keuangan rumah tangga, komunikasi efektif, penyelesaian konflik, hingga manajemen mental dalam pernikahan. Jika kegiatan yang diberikan terlalu bersifat hiburan, dikhawatirkan esensi bimbingan akan berkurang.

Namun demikian, pihak KUA tetap yakin bahwa pendekatan yang ringan dan menyenangkan dapat menjadi nilai tambah, selama tidak mengesampingkan konten materi utama.

Simbol Dinamisnya Bimbingan Pranikah di Indonesia

Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, fenomena “Kakek Memijit Nenek” menunjukkan bahwa bimbingan pranikah di Indonesia terus beradaptasi mengikuti perubahan zaman dan dinamika sosial masyarakat. Program ini tidak hanya berfokus pada aspek hukum dan agama, tetapi juga mencoba menghadirkan pengalaman interaktif bagi calon pasangan agar lebih siap menghadapi kehidupan rumah tangga yang nyata.

Bagi sebagian orang, kegiatan seperti ini bisa menjadi pengalaman menyenangkan yang menumbuhkan kekompakan dan kerja sama. Namun bagi yang lain, fenomena ini menjadi sinyal perlunya evaluasi terhadap metode pembelajaran dalam bimbingan pranikah agar tetap relevan, efektif, dan bermakna.

Fenomena viral “Kakek Memijit Nenek” menyoroti pergeseran pendekatan dalam bimbingan perkawinan — dari yang formal dan serius menuju metode yang lebih cair dan menyenangkan. Meski menuai kritik, kegiatan ini menunjukkan upaya KUA untuk menghadirkan pembelajaran yang tidak hanya berbasis teori, tetapi juga pengalaman emosional yang membekas.

Pertanyaannya kini: apakah pendekatan semacam ini efektif membekali pasangan menghadapi tantangan rumah tangga? Atau justru perlu ditinjau ulang agar bimbingan pranikah tetap fokus pada substansi? Perdebatan ini kemungkinan besar akan terus berlanjut seiring perkembangan zaman dan ekspektasi masyarakat terhadap institusi pernikahan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index